Monday, August 19, 2013

Papandayan, 16-18 Agustus 2013

Selasa, 6 Agustus 2013
Langkah menuju Gunung Papandayan dimulai ketika saya sedang berlibur di Pulau Harapan. Saya menerima pesan WhatsApp dari grup Menwa Ekek 41 yang dikirim oleh Reni. Pesan itu berupa ajakan untuk pergi ke Papandayan beserta rangkaian jadwal pendakiannya. Tanggal pendakian 16-18 Agustus, bertepatan dengan Hari Raya Kemerdekaan RI, dan bertepatan dengan acara lomba 17an di Paroki Sentul. Sempat timbul kegalauan di hati, antara lomba 17an atau naik gunung. Namun pada akhirnya hati ini tak dapat berpaling dari sang gunung, dan saya pun mengajak teman satu paroki saya, Jonathan (yang lebih suka dipanggil John). Kami pun "melarikan" diri dari acara 17an di paroki kami.

Jumat, 16 Agustus 2013
Telah disepakati bahwa beberapa dari kami akan memulai perjalanan dari terminal Kampung Rambutan, sementara ada beberapa yang akan mulai perjalanan dari Bandung. Saya dan John berangkat ke Kampung Rambutan kira-kira pukul 6 sore. Kepergian kami diantar oleh orang tua John. Perjalanan dari Sentul-Kampung Rambutan hanya memakan waktu kurang lebih setengah jam. Tiba di sana belum ada teman kami yang lain yang sudah sampai. Kami pun membuang waktu kami dengan duduk minum kopi di pinggir jalan. Setelah beberapa lama, kami berpindah ke depan mini market di terminal sekaligus untuk melengkapi persediaan makanan kami. Di depan mini market tersebut kami bertemu dengan banyak pendaki lain yang akan mendaki Papandayan, Cikurai, atau Ciremai. Kami menunggu kedatangan teman-teman kami yang lain sambil bercakap-cakap dengan teman sesama pendaki. Setelah beberapa saat menunggu, datang tiga teman kami, yaitu Reni, Erna, dan Elin, kemudian menyusul Surya dan Yoga. Senang rasanya bertemu teman-teman seperjuangan ketika Menwa dulu.

Kira-kira pukul 10 malam kami mulai perjalanan menuju ke terminal Guntur di Garut dengan Bus AC Ekonomi dengan tarif Rp 55.000,00 per orang. Waktu sudah menunjukkan kira-kira pukul dua pagi ketika kami tiba di terminal Guntur. Dari situ kami menyewa satu elf untuk menuju ke Masjid Agung Cisurupan. Tarif elf  Rp 200.000,00 per mobil. Jalanan yang sepi dan supir yang sedikit ngebut membuat kami tiba di tujuan kami hanya dalam waktu setengah jam. Bukan tujuan kami sebenarnya, karena kami harus berjalan dulu sekitar lima menit untuk bisa sampai ke Masjid. Masjid ini bisa dibilang base camp untuk para pendaki yang akan mendaki Papandayan. Di sini para pendaki bisa mandi dan tidur. Titik pertemuan antara kami yang berangkat dari Kampung Rambutan dengan teman-teman yang berangkat dari Bandung adalah di Masjid ini. Kami pun istirahat tidur sambil menunggu mereka. 

Sabtu, 17 Agustus 2013
Cukup lama kami menunggu karena teman yang dari Bandung baru berangkat pukul enam pagi. Sambil menunggu, kami pun berbelanja sayur-sayuran di pasar dekat Masjid dan sarapan di sekitar Masjid.

Akhirnya sekitar pukul sembilan pagi rombongan Bandung datang: Galuh, Wakhid, Northy, dan Angel. Kami pun bersiap dan mulai berangkat ke pos pendaftaran dengan menyewa mobil pick up, 1 mobil Rp 200.000,00. Perjalanan memakan waktu kira-kira 1 jam melewati jalan rusak dan berbatu-batu. Tiba di pos pendaftaran, kami langsung disuguhi pemandangan Gunung Papandayan indah. Setelah mendaftar dan membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 3.000,00 per orang, kami mulai berfoto-foto dan membeli nasi uduk (yang ternyata kami ditipu, beberapa bungkus hanya nasi putih biasa) untuk makan siang nanti. Perjalanan kami mulai kira-kira pukul 11 siang. Medan yang kami lewati adalah jalan berbatu dengan kawah di kanan kiri jalan yang mengeluarkan suara gas belerangnya. Manusia yang naik gunung ini beragam usianya, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Alat transportasinya pun bukan hanya kaki, tetapi ada juga yang naik motor. Di tengah perjalanan kami sempat meminjam bendera merah putih pendaki lain untuk dipakai foto-foto. Maklum, sedang dalam rangka tujuh belasan.

Di tengah jalan kami harus berputar menempuh jarak yang lebih jauh karena ada jalan yang longsor. Setelah berjalan sejauh kira-kira tiga kilometer dalam waktu kira-kira dua jam, kami tiba di Tawang Angin. Rencana awal kami akan bermalam di Pondok Saladah, namun melihat bahwa di Tawang Angin ini sudah banyak tenda dan mendengar bahwa di Pondok Saladah sudah penuh, kami pun mendirikan tenda di sini. Setelah itu beberapa dari kami mencari kayu bakar untuk membuat api unggun malam nanti dan beberapa lagi masak untuk makan siang.

Setelah hari mulai agak sore kami masuk ke acara ramah tamah dengan duduk bersama dan mengobrol. Satu persatu kami menceritakan sedikit latar belakang kami, juga alasan masuk menwa untuk yang anggota menwa. Hari mulai malam, semua anggota telah mendapatkan kesempatan berbicara, perut sudah mulai berbunyi, dan udara sudah mulai terasa dingin (kira-kira 15 derajat celcius). Kami pun menyalakan api unggun dan memasak makan malam. Setelah kenyang makan dan mencuci peralatan makan, kami melanjutkan ngobrol disekeliling api unggun. Sekitar pukul sepuluh malam, kami masuk ke tenda dan beristirahat.

Minggu, 18 Agustus 2013
Kami bangun kira-kira pukul empat pagi karena berencana untuk melihat sunrise di Hutan Mati. Langit masih gelap dan penuh dengan bintang. Kami pun mulai perjalanan kami. Tas carrier kami tinggalkan di tenda agar perjalanan lebih ringan. Kami hanya membawa minum, ponco, jaket, dan makanan ringan dengan tas kecil. Di tengah perjalanan kami sempat tersasar karena tidak tahu harus jalan ke mana. Beberapa orang yang kami tanya pun tidak tahu pasti jalan yang harus dilalui. Akhirnya setelah menempuh jarak kira-kira 1,5 kilometer dan memakan waktu kira-kira satu jam perjalanan, kami tiba di daerah yang batang dan ranting pohonnya telah mati. Pepohonan ini konon telah mati sejak letusan gunung Papandayan di tahun 2002. Itulah mengapa daerah ini dinamakan Hutan Mati.

Kami tiba di tempat orang-orang banyak berkumpul. mungkin di sinilah tempat yang bagus untuk melihat sunrise. Matahari belum menampakkan dirinya ketika kami sampai. Kami pun berfoto-foto dan beristirahat sejenak. Beberapa saat kemudian mulai terlihat cahaya kemerahan di ufuk Timur. Sang matahari mulai menunjukkan keindahannya. Ternyata tempat ini memang tempat yang bagus untuk melihat sunrise.

Setelah berfoto-foto dengan berbagai pose, kami pun melanjutkan perjalanan. Beberapa dari kami tidak ingin ke puncak, dan hanya ingin turun ke tempat tenda. Namun setelah dibujuk-bujuk, akhirnya semua melanjutkan perjalanan ke tujuann selanjutnya, Puncak Papandayan. Setelah berjalan kurang lebih 1,5 kilometer dan 1,5 jam, kami tiba di tempat bernama Tegal Alun. Tempat ini merupakan ladang tanaman Edelweiss. Ladang Edelweiss yang luas. Tidak lupa kami berfoto-foto lagi dengan berbagai pose.

Setelah puas berfoto, kami berunding apakah akan melanjutkan perjalanan ke puncak atau langsung turun. Karena ada yang bilang puncak Papandayan tidak begitu bagus, lebih bagus Tegal Alun, dan kami harus mengejar bus ke kota kami masing-masing, akhirnya kami pun memutuskan untuk berhenti sampai di Tegal Alun saja.

Perjalanan turun tidak memakan waktu terlalu lama. Dari Tegal Alun sampai Tawang Angin tempat tenda kami berdiri hanya menempuh waktu sekitar 40 menit. Setelah selesai beres-beres dan tanpa makan siang, kami melanjutkan perjalanan. Dari Tawang Angin ke pos pendaftaran hanya memakan waktu kira-kira 1 jam lebih. Dari pos pendaftaran kami melanjutkan perjalanan ke masjid dengan pick up yang harganya sewanya masih sama, Rp 200.000,00 per mobil. Dari masjid ini teman kami yang dari Bandung berencana untuk memisahkan diri dan naik angkot yang ke arah Bandung, namun ternyata tidak ada. Angkot dari masjid ke Terminal Guntur Rp 12.000,00 per orang. Pukul tiga sore, tibalah kami di terminal Guntur, dan tibalah saat untuk mengucapkan "sampai bertemu lagi di lain kesempatan." Dari sini kami berpisah naik bus ke kota kami masing-masing. Dan karena ketidaktahuan saya dan John, kami naik bus ekonomi (tarif Rp 40.000,00 per orang) ke arah Bandung melewati Ciawi, tanpa melewati tol. Kami tiba di Ciawi pukul setengah satu malam. Dari Ciawi, kami pun naik taksi ke Sentul dengan tarif Rp 70.000,00.

Dan demikianlah akhir dari perjalanan saya ke Gunung Papandayan.